Pendidikan Perdamaian tanpa Kekerasan

Opini M Nurul Ikhsan Saleh, Lampung Post, 12 Juni 2015
SEORANG siswi bernama Dinda Diana Nosi yang berasal dari Samarinda mengunggah video pada 9 April 2015 di media Facebook. Video tersebut memperlihatkan dua siswi yang sedang berkelahi dengan ditonton teman-temannya satu sekolah. Pada April ini juga seorang siswa bernama Vika, siswa pelajar SMP di Manado, mengalami penganiayaan yang dilakukan teman satu sekolahnya dengan cara rambutnya ditarik, ditampar, dan perutnya diinjak. 

Sedangkan di Februari, seorang siswi SMA di Yogyakarta dianiaya beberapa teman sekolahnya dengan cara disekap, ditelanjangi, dan mengalami kekerasan di bagian kemaluannya. Bahkan hal ini juga terjadi kepada empat siswa sekolah dasar yang kemudian mendatangi Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Manado.

Empat contoh kasus di atas yang terjadi pada beberapa bulan belakangan memperlihatkan kepada kita bahwa tindakan kekerasan masih saja menghantui para siswa di sekolah, bukan hanya di kalangan siswa sekolah menengah atas, melainkan juga terjadi pada siswa di sekolah dasar. Lebih mirisnya lagi adalah karena teman-teman kelasnya hanya menonton dan mereka tidak langsung berupaya menghentikan kejadian tersebut. Bahkan sering ditemui di media sosial, seperti Facebook dan Youtube, para teman-temannya yang melihat perkelahian, hanya bisa menyoraki dan sibuk merekam lewat ponsel perihal kasus tersebut.

Seharusnya siapa pun yang melihat terjadinya kekerasan, minimal ia akan berusaha menghentikan kekerasan tersebut. Jika hal itu terjadi di sekolah, minimal siswa yang lain membantu melaporkan kepada para guru agar kejadian tersebut dihentikan dan langsung ditangani oleh pihak sekolah. 

Bermacam Tindakan 

Kekerasan dalam berbagai bentuk apa pun harus dihentikan, tidak peduli siapa yang melakukan perbuatan tersebut dan di mana pun terjadi. Lebih-lebih jika hal itu terjadi di sekolah, karena tidak sepatutnya kekerasan terjadi di dunia pendidikan yang menjadi tempat belajar anak-anak untuk menjadi pribadi yang baik.

Semua pihak tidak boleh mewariskan kekerasan di sekolah. Sudah sangat sering pemberitaan di media massa seputar kekerasan dalam bentuk perpeloncoan oleh senior terhadap juniornya di sekolah, atau oleh kelompok geng tertentu terhadap geng yang lainnya. Dari situlah dibutuhkan langkah-langkah yang nyata dalam menghentikan kekerasan yang terjadi di sekolah. Jika memungkinkan, sekolah perlu membentuk sebuah sistem dalam proses menghentikan tindak kekerasan di sekolah. Tentu, apabila sekolah bisa mengatasi kekerasan di sekolah, kita tidak akan pernah lagi mendengar seorang siswa di sekolah ditangkap oleh pihak berwenang karena melakukan tindak kekerasan.

Dari sinilah, penting kemudian kita mengajarkan pendidikan perdamaian kepada para siswa di sekolah. Pendidikan perdamaian sendiri adalah proses mempromosikan perdamaian lewat pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai untuk membawa perubahan yang mampu dilakukan oleh para siswa, pemuda, dan orang dewasa dalam mencengah terjadinya konflik dan kekerasan (Chowdhury, 2008). Tentu butuh peran serta dari semua komponen pendidik di sekolah, seperti guru, pihak administrator, pustakawan, dan kepala sekolah. Satu sama lain saling bekerja sama untuk terwujudnya perdamaian di sekolah. 

Semua pihak di sekolah bukan lagi menjadi penonton terhadap terjadinya kekerasan, melainkan menjadi pelopor akan terwujudnya perdamaian. Bukan saatnya lagi para siswa sibuk melihat dan merekam teman-temannya yang sedang mencaci, menghina, memukul, mengadu domba, dan berkelahi, akan tetapi bagaimana mereka terlibat langsung menghentikan kejadian tersebut. Bisa dengan cara melerai, memberi nasihat, memperingatkan, dan melaporkan kepada gurunya di sekolah. Dengan demikian, setiap siswa di sekolah punya tanggung jawab masing-masing untuk menghentikan terjadinya kekerasan. 

Terlebih lagi, pihak sekolah yang sangat memiliki peranan besar dalam mewujudkan perdamaian di sekolah sehingga penting kemudian apabila sekolah bisa menumbuhkan perilaku-perilaku yang mengarah pada terciptanya perdamaian di sekolah. Dalam peroses pembelajaran, seharusnya seorang guru tidak lagi menggunakan metode dan strategi mengajar yang mengarah pada tindak kekerasan. Seperti halnya jika ada seorang siswa tidak mengerjakan PR atau tidak bisa mengerjakan soal mata pelajaran di kelas, tidak boleh dihukum dengan cara kekerasan, karena apabila hal itu terjadi semua siswa di kelasnya akan mengetahui dan selanjutnya mereka dalam ingat mereka seumur hidup.

Apabila pihak sekolah memperlihatkan tindak kekerasan terhadap para siswa, bisa saja nantinya siswa-siswa yang lain akan mengikuti tindakan tersebut. Karena ada kecenderungan, siswa akan mengikuti tindakan-tindakan yang mereka lihat. Contoh sederhananya adalah di kala saya mengajar anak-anak di sekolah dasar, anak-anak sering meraung-raung seperti harimau. Ternyata ketika saya tanya kenapa mereka melakukan perilaku tersebut, mereka manjawab bahwa mereka menirukan aktor-aktor di film yang mereka tonton di televisi, yaitu Manusia Harimau. Betapa apa pun yang ditonton anak-anak memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perubahan perilaku mereka sehingga sangat mungkin, jika anak-anak akan melakukan kekeresan jika di sekolah masih sering dijumpai tindak kekerasan. 

Sebagai guru, saya mengajak kepada seluruh masyarakat untuk terlibat langsung dalam mendidik anak-anaknya untuk tidak terlibat dalam tidak kekerasan. Kalau perlu, dibatasi untuk menonton film-film yang menyuguhkan perilaku-perilaku kekerasan yang bisa saja nantinya bisa diikuti oleh anak-anak kita dalam kehidupan sehari hari. Begitu juga kepada pemangku kepentingan di dunia pendidikan di sekolah, mari bersama-sama menciptakan pendidikan perdamaian yang menunjung tinggi nilai-nilai antikekerasan. Tidak cukup kita hanya terus berdiam diri melihat perilaku kekerasan di sekitar kita, dibutuhkan sikap saling bahu-membahu memutus mata rantai kekerasan yang terjadi di sekeliling kita. Dengan harapan agar kehidupan masyarakat Indonesia menjadi rukun dan tenteram. Semoga.

Artikel ini dimuat pada Lampung Post

Komentar

Postingan Populer