Kita Bangsa Minder


Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan tidak percaya diri. Yang namanya masyarakat Indonesia sepertinya tidak selalu yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan yang cukup untuk melaksanakan setiap kegiatan. Mungkin juga di pengaruhi oleh kolonialisme yang sampai lebih dari tiga ratus tahun menjajah Indonesia sehingga menjadikan mental masyarakat kita menjadi rendah. Sekian lama kita dijadikan budak para kolonial di pekerjakan secara paksa dengan tanpa imbalan apapun kecuali hanya diberi makan secukupnya. Integritas kita sebagai manusia pada saat itu tidaklah terlihat. Martabat kita diinjak-injak tanpa rasa kasihan.

Penjajah yang sekian lama itu telah demikian kuat mempengaruhi watak masyarakat kita. Masyarakat terbiasa dengan hidup menjadi pembantu bagi orang lain. Maka bisa kita lihat sampai detik ini banyak dari masyarakat kita yang bekerja di luar negeri untuk menjadi pembantu. Mereka sudah tidak memikirkan lagi dampak yang sering kali menimpa diri mereka, baik yang berbentuk kekerasan fisik, seperti pemerkosaan, bahkan pembunuhan terhadap TKI.

Masyarakat Indonesia belum tangguh untuk menjadi majikan bagi masyarakat lain. Yang mampu menunjukkan dirinya dengan gagah berani memperlihatkan integritas dirinya didepan orang lain. Sepertinya malah orang-orang kita tidak mau untuk dijadikan majikan yang mempekerjakan orang lain, kita terlalu enak untuk bekerja kepada orang lain, menjadi orang yang gampang disuruh, diperintah, dan dibentak-bentak. Mereka seperti sudah mempunyai watak seperti itu. Watak yang bisa dibilang telah diwariskan oleh nenek moyang kita setelah kita di jajah oleh kolonial.

Para pendahulu kita belum merasakan bagaimana enaknya tidak dikekang dan diinterfensi orang lain. Kehidupan sehari-harinya sejak pagi sampai malam hanya diperuntukkan bagi orang majikan. Dan kita merasa bangga jika kita mendapatkan upah dari majikan itu. Kita tidak sadar bahwa kita telah diperalat oleh mereka, padahal di tanah milik kita sendiri kenapa malah kita jadi majikan. Aneh memang, tapi nyata itulah masyarakat Indonesia yang memiliki watak pembantu. Sehingga akhirnya tidak sadar bahwa mereka dalam keadaan tertindas.
Kesadaran seperti ini akan sangat membayakan pada para generasi muda kita. Anak-anak kita diajari bagaimana orang tua mempoles ‘keberhasilan’ yang semu itu dengan cerita-cerita yang mempesona seolah mereka diperlakukan dengan baik bekerja di negara orang lain. Anak-anak sejak dini diajari pola pikir yang membaggakan bagaimana kesuksesan bekerja diluar dengan mendapatkan upah yang banyak. Para orang tua lebih bangga bekerja di negeri seberang. Meskipun jika dibanding-bandingkan dengan bekerja di lingkungannya, sama saja. Pola pikir yang lebih membanggakan negeri lain, dan kurang membanggakan negeri sendiri adalah bagian dari budaya masyarakat kita.

Sampai kapan masyarakat kita akan selalu mengacuhkan segala kekayaan dan potensi yang ada di negeri sendiri. Apakah kesadaran itu muncul di kala alam kita di kuasai oleh para investor-investor dari luar. Kenapa orang dari negeri lain ingin menuju Indonesia karena dipercaya memiliki kekayaan alam, malah masyarakat kita berbondong-bondong mengadu nasib ke negara lain. Mereka itu belum menyadari secara penuh potensi alam yang dimiliki kita sendiri. Sampai kapan orang Indonesia memiliki kesadaran seperti itu itu?

Kita patut selalu berinstropeksi terhadap negara kita ini. Orang-orang kita berbondong-bondong setiap tahun untuk mengadu nasib di negeri orang hanya untuk menghidupi keluarga saja. Apakah yang salah dengan diri kita sehingga seolah potensi alam kita seperti tidak bisa menghidupi masyarakat kita, apakah memang pola pikir yang tadi itu, menjadi karakter kita sebagai pembantu, sehingga kita terlanjur enak menjadi pembantu. Padahal menjadi pembantu akan merendahkan integritas diri kita, menjadi masyarakat yang selalu pesimis dengan diri kita sendiri.

Sekarang, menjadi tugas kita bersama yaitu memikirkan bagaimana kehidupan kita di masa depan akan di bentuk. Akankah kita hanya bertahan hidup di negeri orang lain, bisa-bisa kita mempunyai penduduk yang banyak, akan tetapi tidak pernah hidup di negeri ini. Masyarakat kita ada yang sejak lahir sudah di luar negeri bahkan dia tidak tahu sama sekali seperti apa negaranya sendiri. Inilah ironi republik kita ini. Masyarakat yang tidak memiliki etos percaya diri yang tinggi. Kita belum percaya bahwa negeri kita ini bisa menghidupi dan bisa memberikan segala apa yang kita inginkan. Negeri kita di kenal dengan alam yang sangat subur. Tumbuhan apa saja bisa tumbuh di Indonesia, kita penghasil sawit nomor dua di dunia, penghasil rempah-rempah terbesar dan banyak lagi yang lainnya.

Bukan hanya itu saja, binatang apa saja hampir bisa hidup di Indonesia, jadi salah besar jika masyarakat masih punya persepsi bahwa lahan kita masih belum bisa menjanjikan penhidupan bagi penghuninya. Kenapa binatang saja bisa hidup di Indonesia, malah manusia di negeri kurang percaya dengan hal itu. Ternyata manusia bisa juga pikirannya tidak berfungsi dalam kasus seperti ini. Binatang saja yang tidak punya akal pikiran bisa hidup.

Kembali pada bahasan awal, bahwa kita masih cenderung lebih senang menjadi pembantu padahal jika kita punya keinginan yang kuat untuk bisa hidup dengan tanpa mengharapkan dari pemberian orang lain kita juga bisa. Yaitu dengan hanya mengelola dan mengembangkan dengan baik segala potensi dan kekayaan alam Indonesia ini yang sangat subur ini.

Yang lebih parah lagi, para generasi muda kita, contoh kecilnya saja, banyak dari mahasiswa yang bangga menjadi lulusan dari negeri tetangga, padahal dalam segi kualitas kita tidak kalah dengan mereka. Mahasiswa dengan gengsinya mengatakan bahwa lulusan luar ‘negeri’ yaitu negara tetangga seperti Malaysia merasa mempunyai nilai lebih ketimbang mahasiswa-mahasiswa dalam negeri. Kalau boleh saya perhatikan, konstruk pemikiran seperti itu karena mereka merasa mender kuliah di negara kita sendiri yang sebenarnya kualitasnya tidak jauh berbeda, meskipun dalam beberapa hal kita kalah. Jika kita buka sejarah masa lalu akan menunjukkan bahwa para dosen atau guru dari Negeri malaysia belajar ke Indonesia atau seorang guru Indonesia datang kenegeri Malaysia untuk mengajar sekarang malah kacau.
Mahasiswa secara langsung telah terhipnotis seperti kecanduan ‘luar negeri’, membangga-banggkan karena mereka menjadi lulusan negeri orang. Padahal jika kita lihat kompetensi lulusan luar negeri yang telah kembali ke Indonesia malah terkadang kalah jauh ketimbang kualitas dari ngeri kita sendiri. Tapi sudah terlanjur kita telah menina bobokan luar negeri. Segala sesuatu yang berlabelkan luar negeri hampir sudah pasti di beri label berkualitas tinggi. Padahal pola pikir seperti itu masih butuh dikaji kembali dan dipertanyakan secara logis dan impiris.

Komentar

Postingan Populer