Kontroversi Ujian Nasional


Perdebatan Ujian Nasional (UN) tanpaknya belum akan berakhir, Mahkamah Agung (MA) kembali memenangkan gugatan masyarakat lewat citizen law suit terkait penyelenggarakan UN. Berbagai argumen dikemukakan para pakar, pemerhati, praktisi pendidikan, orangtua, dan siswa sendiri untuk menggugat kebijakan UN. Disisi lain, pemerintah masih akan kembali melakukan upaya hukum terakhir, yakni pengajuan peninjauan kembali.

Pendapat dan pandangan dalam polemik mengenai UN ini tampak terbelah menjadi dua kutub. Namun, argumen-argumen yang mengemuka hanya mempersoalkan UN dari sisi keabsahan hukum atau peraturan. Tak heran bila tema ini hanya berkisar pada gugatan atas pasal-pasal dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) berikut PP turunannya yang mengatur tentang siapa yang berwenang melaksanakan UN. Penting dicatat, UU SPN menggunakan istilah “evaluasi belajar”, tidak menyebut secara jelas “Ujian Nasional”.
Untuk itu, perdebatan harus ditarik pada pembahasan isu-isu substansial. Pertanyaan pokok yang patut diajukan adalah apakah UN diperlukan? Jika perlu, apakah UN dapat menjadi penentu kelulusan atau sekadar istrumen memetakan mutu pendidikan? Apakah UN merupakan bentuk evaluasi pendidikan atau pengukuran pencapaian prestasi akademik?

Penilaian dan Pengukuran
Dalam literatur pendidikan, ada dua istilah, penilaian (evaluation) dan pengukuran (measurement). Berdasarkan istilah ini kita dapat mendiskusikan UN lebih lanjut. Secara teoritis, UN diperlukan untuk tiga kepentingan. Yaitu untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses pembelajaran di sekolah, mengetahui pencapaian prestasi akademik siswa selama mengikuti proses pendidikan dalam rentang waktu tertentu, dan melihat gambaran kualitas pendidikan secara nasional dengan mengamati diversivitas dan diskrepansi mutu pendidikan antardaerah.

Namun dalam UU No 20/2003, Pasal 58 Ayat (1) disebutkan “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.” Pasal ini, oleh sebagian pengamat dan praktisi pendidikan, dijadikan justifikasi dan basis legal untuk menolak UN.

Tanpa membedakan pengertian kedua istilah tersebut, banyak pengamat berargumen bahwa UN tidak diperlukan. Evaluasi belajar seperti dimandatkan UU harus dilakukan oleh guru, yang dinilai lebih mengetahui prestasi belajar siswa di sekolah masing-masing. Jika pendapat ini diikuti, maka akan muncul persoalan lain yang jauh lebih kompleks. Siapa yang dapat menjamin kredibilitas hasil evaluasi belajar tersebut.

Standar penilaian hasil evaluasi antara satu sekolah dengan sekolah yang lain juga dipastikan beragam. Lalu siapa yang berkompeten untuk memastikan bahwa lulusan sekolah A lebih baik mutunya dibanding B? Siapa pula yang punya otoritas untuk menetapkan bahwa metode evaluasi belajar yang digunakan di sekolah Z lebih baik dibandingkan Y?

Dengan menyerahkan evaluasi belajar kepada guru dan sekolah, tanpa ada standar nasional yang menjamin kualitas lulusan, maka kontroversi akan semakin tak ada habisnya. Evaluasi belajar oleh guru atau sekolah tak mungkin berlaku nasional karena tak ada legitimasi dan pengakuan publik.

Untuk menjaga kredibilitas, setiap metode evaluasi belajar haruslah bisa diterima dan diakui oleh semua pihak berkepentingan. Pengakuan publik atas suatu hasil evalusi belajar itu sangat penting, karena produk pendidikan pada akhirnya akan dipakai sebagian orang secara salah kaprah saling dipertukarkan penggunaanya. Bahkan tak sedikit pengamat menyamakan kedua istilah tersebut, menganggapnya sebagai sinonim.

James Popham dalam buku Education Evaluation (1993) menjernihan pengertian keduanya. Evaluasi adalah suatu appraisal process (proses penilaian) untuk mengetahui kualitas pendidikan. Itu dilakukan dengan melihat pelaksanaan program pembelajaran dan kegiatan belajar-mengajar.

Sedangkan pengukuran adalah suatu proses penilaian yang berkaitan dengan pemeringkatan atau pengukuran pencapaian prestasi, dengan menggunakan indeks numerikal tertentu. Atas dasar itu, seseorang menempati posisi tinggi atau rendah.

Dalam evaluasi, proses penilaian mencakup (i) pilihan mata pelajaran yang diajarkan, (ii) efektivitas suatu metode pengajaran, dan (iii) pengembangan kurikulum. Sedangkan dalam pengukuran, proses penilaian antara lain mencakup (i) penetapan batas terendah-tertinggi pencapaian prestasi, (ii) standar pengukuran, dan (iii) penggunaan alat ukur. Secara singkat, evaluasi adalah quality appraisal sedangkan pengukuran adalah status appraisal.

Lebih dari itu, evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui tingkat efektivitas pelaksanaan program pembelajaran di sekolah dan implementasi kegiatan belajar-mengajar di kelas. Antara lain ditandai oleh kemampuan murid dalam menguasai suatu mata pelajaran.

Tingkat efektivitas ini dipengaruhi guru yang bermutu, ketersediaan buku, bahan ajar, dan peralatan; dukungan fasilitas pendidikan (perpustakaan, laboratorium), dan lain-lain. Karena itu, evaluasi pasti akan berujung pada rekomendasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan memberi perhatian pada faktor-faktor penting itu.

Tujuan
Dalam dunia pendidikan, evaluasi dalam pengertian ini digunakan pertama kali oleh Ralph W Tyler (General Statement on Evaluation dalam Journal of Education Research). Pengertian ini dia gunakan ketika melakukan penilaian perbandingan atas performa akademis siswa-siswa yang berasal dari sekolah menengah progresif dan sekolah menengah konvensional.

Dia berkesimpulan: “Evaluasi bukanlah penilaian atas keberhasilan akademis siswa, tapi lebih merupakan penilaian atas kualitas program pendidikan oleh masyarakat”.

Dengan mempertanyakan masalah ini, tidak berarti kita meragukan kejujuran, integritas, dan kredibilitas seorang guru atau suatu sekolah dalam melakukan evaluasi belajar, melainkan lebih untuk memastikan originalitas, kualitas, dan akutabilitas evaluasi belajar dimaksud. Persoalan ini penting didiskusikan karena menyangkut quality assurance dan quality control atas suatu proses pendidikan di sekolah.

Jaminan kualitas dan pengendalian mutu pendidikan harus dilakukan melalui suatu mekanisme tertentu (baca: UN) yang mendapat pengakuan publik dan dilaksanakan suatu badan independen yang berkompeten.

Meskipun bentukan pemerintah, BSNP adalah lembaga netral dan independen, beranggotakan tokoh-tokoh pendidikan dan secara akademik punya otoritas dan kompetensi menyelenggarakan UN, serta tak punya konflik kepentingan. Jika BSNP dipertanyakan, lembaga mana yang dianggap kompeten? Tentu saja tak mungkin UN diserahkan pada lembaga bimbingan belajar.

Komentar

Postingan Populer