Kembali Bisnis Buku Sekolah


Persoalan buku pelajaran bagi murid SD-SLTA di Indonesia selalu muncul setiap dimulainya tahun ajaran baru. Ketika masih memakai sistem caturwulan, buku pelajaran menjadi masalah setiap caturwulan. Akar masalahnya tidak lain karena setiapcatur wulan/semester buku pegangan murid harus ganti. Setelah itu buku pelajaran harus diganti karena tidak bisa digunakan lagi oleh adik kelas pada tahun yang akan datang. Dengan kata lain, penggunaan buku-buku pelajaran kita amat tidak efisien, efektif, dan membodohkan.

Bisnis buku semacam itu sudah berlangsung selama hampir tiga dekade terakhir, tetapi hingga kini tidak ada penyelesaian yang jelas. Para birokrat pendidikan justru melemparkan tanggung jawab dengan alasan bahwa sekarang sudah otonomi daerah sehingga daerah/sekolah bebas menentukan jenis buku pegangan sendiri, tanpa campur tangan menteri atau Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Secara yuridis memang betul demikian karena undang-undangnya mengatur pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah, termasuk dalam bidang pendidikan. Akan tetapi secara sosiologis, hal itu kurang tepat karena faktanya ketergantungan birokrat daerah terhadap pusat masih cukup besar. Kecuali itu, keberadaan Menteri Pendidikan sendiri dimaksudkan sebagai kontrol terhadap jalannya pendidikan. Jika Menteri Pendidikan lepas tanggung jawab mengenai buku-buku yang membebani dan membodohkan masyarakat, mengapa harus ada Menteri Pendidikan?

Selain masalah sering berganti buku setiap semester atau batas pemakaian yang terlalu pendek, masalah lain yang ditemukan dalam buku pelajaran adalah isi dan corak buku itu sendiri, distribusi, harga beli, serta kualitas.

Pergantian kurikulum satu ke kurikulum lain, termasuk dari Kurikulum 1994, 2004, menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, tidak otomatis membawa perubahan corak dan isi buku pelajaran secara radikal, tetapi hanya tambal sulam. Hal ini disebabkan para penulis buku sendiri banyak yang tidak memahami substansi KTSP. Dengan demikian yang membedakan buku pelajaran menurut Kurikulum 2004, dengan buku pelajaran menurut Kurikulum 2006 adalah pada sampul buku pelajaran Kurikulum 2004 ada tempelan tulisan “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan”. Akan tetapi, jika dibaca secara cermat, isinya tidak jauh berbeda dengan buku-buku pelajaran sebelumnya.

Ironisnya, meski corak dan isi buku itu buruk dan menyesatkan, tetapi masyarakat dipaksa membayar mahal karena setiap semester buku itu harus ganti dan harus dibeli dengan harga tinggi. Keharusan membeli itu terjadi karena model penjualan buku-buku pelajaran itu memakai jalur birokrasi pendidikan. Rata-rata tiap keluarga mengeluarkan uang antara Rp 200.000 hingga Rp 450.000 per anak per semester. Pembelian buku pelajaran semacam itu menjadi masalah besar bagi keluarga yang memiliki anak lebih dari satu dan bersekolah semua dan kebetulan berasal dari keluarga miskin. Sebab, kebutuhan untuk membeli buku pelajaran saja minimal Rp 900.000 per semester. Belum lagi kebutuhan buku-buku penunjang lainnya. Lebih ironis lagi karena pemerintah sebetulnya mengeluarkan anggaran cukup besar untuk pendidikan tahun ini. Ke mana larinya buku-buku yang dibiayai oleh negara itu jika masyarakat masih harus membeli dengan harga mahal?

Masalah lain adalah kualitas buku pelajaran yang menjadi pegangan anak-anak secara objektif dinilai buruk, bahkan menurut Utomo Dananjaya dari Institute of Education Reform (IER), kualitas buku-buku pelajaran yang banyak dipakai oleh sekolah itu di bawah standar. Selain kurang memperlihatkan penalaran yang baik, materi dalam buku itu juga banyak yang tidak memiliki koherensi antara meteri satu dan lainnya sehingga seakan-akan merupakan materi yang saling terpisah. Padahal, sebuah buku mestinya mengandung suatu pemikiran yang utuh sehingga membantu mempermudah pembacanya untuk mengerti.

Pengadaan buku yang dilakukan secara sentralistik juga tidak mencerminkan kondisi lokal sehingga buku itu mengandung kesalahan yang dapat menimbulkan rasa tidak hormat pada penulisnya. Satu contoh yang sering kita baca pada pelajaran ilmu geografi adalah tentang musim di Indonesia yang dibedakan dua musim, yaitu panas dan hujan. Namun, apabila kita pergi ke Papua-yang masih menjadi bagian dari negara Republik Indonesia, di sana tidak begitu jelas pembedaan musim itu karena sepanjang tahun hujan dan panas tidak bermusim, tetapi selalu datang sewaktu-waktu. Materi yang demikian jelas mencerabut pikiran anak-anak dari pengetahuan empiris mereka.

Lebih menyedihkan lagi adalah materi buku-buku pelajaran agama yang sering kali justru menciptakan segregasi murid berdasar agama yang dianutnya. Padalah, sekolah seharusnya merupakan institusi tempat berseminya benih-benih kemanusiaan terlepas dari agama yang dianutnya. Karena itu, merupakan hal yang tragis jika ada teks buku yang mengajarkan murid pemeluk agama tertentu tidak boleh mengucapkan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain. Di lain pihak, anak-anak menyaksikan orang-orang di sekitarnya saling menghormati dan mengucapkan selamat hari raya kepada mereka yang merayakan hari raya keagamaan.

Munculnya cara berpikir masyarakat yang linier, otoritatif, bahkan kadang dogmatis itu tidak lepas dari interaksi dengan buku-buku pelajaran yang mereka konsumsi selama bersekolah. Karena buku-buku pelajaran itu ditulis dengan menggunakan cara berpikir yang linier, mengandalkan otoritas, dan bersifat dogmatis, maka secara otomatis pikiran anak-anak yang membacanya juga terkontaminasi. Dan karena proses kontaminasi itu berlangsung sekurang-kurangnya 12 tahun, hal itu kemudian mengkristal dan terinternalisasi dalam diri anak. 
Yang menyedihkan lagi ada teks pelajaran agama yang secara eksplisit melarang penganut agama itu mengucapkan selamat hari raya bagi pemeluk agama lain. Teks semacam ini selain mengajarkan kepada anak tentang realitas bangsa yang majemuk, bisa juga menggiring anak-anak membentuk komunitas eksklusif yang didasarkan pada agama yang dianutnya. Teks-teks buku semacam itu sebetulnya lebih bersifat indoktrinatif daripada mencerdaskan. Padahal, pendidikan itu hendaknya mampu mencerdaskan orang-orang yang ada di dalamnya.

Bagi pelajar dan orang tua, persoalan kualitas tidak hanya menyangkut soal isi buku itu, tetapi juga secara fisik. Banyak buku pelajaran, terutama untuk SD, yang tidak dijilid bagus sehingga mudah lepas sehingga merepotkon murid atau orang tua murid. Ini kelihatannya sepele, tetapi bisa menjadi penghambat belajar bagi anak-anak karena selalu merasa jengkel dengan bukunya yang sering lepas. Lagi pula, usia anak-anak SD sebaiknya tidak dibebani dengan hal yang kecil-kecil dan terlalu ruwet.

Komentar

Postingan Populer