Problem Pemekaran Daerah


Judul Buku : Pemekaran Daerah; Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi
Penulis : Tri Ratnawi
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : Pertama, Februari 2009
Tebal : xiii + 284 halaman

Buku ini merupakan tinjauan umum pemekaran daerah di Indonesia di era reformasi (1999-sekarang), problematika yang dihadapi serta alternatif pemecahan masalahnya. Dalam pandangan Tri Ratnawi, pemekaran daerah di Indonesia secara besar-besaran sehingga berubah menjadi semacam ‘bisnis’ atau ‘industri’ pemekaran saat ini, tidak sepenuhnya didasari oleh pandangan-pandangan normatif-teoritis seperti yang tersurat dalam peraturan pemekaran wilayah atau dalam teori-teori desentralisasi yang dikemukakan oleh banyak pakar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengembangkan demokrasi lokal, memaksimalkan akses publik ke pemerintahan, mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya, menyediakan pelayanan publik sebaik dan seefesien mungkin.

Sebaliknya, tujuan-tujuan politik-pragmatis seperti untuk merespons separatisme agama dan etnis, membangun citra rezim sebagai rezim yang demokratis, memperkuat legitimasi rezim yang berkuasa, dan karena self-interest dari para aktor daerah dan pusat, merupakan faktor-faktor yang lebih dominan, politisasi dan pragmatisme dalam pemekaran wilayah seperti itulah yang akhirnya menimbulkan banyaknya masalah atau komplikasi di daerah-daerah pemekaran, daerah induk dan juga di pusat.

Saat ini negara Indonesia berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa dan bersifat majemuk dalam hal etnis, bahasa daerah, agama, budaya, geografi, demografi, dan lain-lain. Terdapat sekitar 656 suku di seluruh Nusantara di mana 1/6 di antaranya sekitar 109 suku tinggi di Indonesia Barat (Jawa dan Sumatra) dan selebihnya di Indonesia Timur menurut garis Wallacea. Pengelompokan etnis tersebut sering kali bertindihan dengan pengelompokan agama. Misalnya, etnis Ambon umumnya beragama Kristen dan etnis Bugis sebagaian besar beragama Islam.

Sehubungan dengan itu kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah masa reformasi merupakan kebijakan yang tepat untuk merespons keragaman tersebut. Pemekaran wilayah merupakan salah satu aktualisasi dari kebijakan itu yang terbukti kemudian peluang ini banyak ditangkap atau dimanfaatkan daerah dan elit-elitnya. Dari tahun 1999 hingga akhir tahun 2006 di Indonesia terbentuk 7 provinsi baru, 129 kabupaten baru dan 26 kota baru. Hingga April tahun 2007 jumlah provinsi di Indonesia adalah 33 buah di samping adanya 457 kabupaten/kota. Jumlah ini belum termasuk 8 daerah baru yang disetujui oleh Presiden dan DPR pada 17 Juli 2007 untuk dibentuk. Kedelapan daerah baru tersebut adalah Kota Serang (Jabar), Kabupaten Kubu Raya (Kalbar), Kabupaten Manggarai Timur (NTT), Kabupaten Tana Tidung (Kaltim), Kota Tual (Maluku), Kabupaten Pesawaran (Lampung), Kabupaten Padang Lawas (Sumut), dan Kabupaten Padang Lawas Utara (Sumut) (Depdagri 2007).

Penambahan kedelapan daerah sebagai daerah pemekaran baru ini menimbulkan pertanyaan bagi Ratnawi mengenai konsistensi Pemerintah tentang perlunya ‘moratorium pemekaran daerah’. Bila dihitung, maka jumlah daerah pemekaran saat ini berjumlah sekitar 5 kali lipat dibandingkan keadaan di masa Orde Baru dan setara dengan pemekaran wilayah yang terjadi pada periode 1956-1960.

Selain itu, pada 2006 Depdagri juga telah mendaftar sekitar 110 usulan pembentukan kabupaten/kota baru dan 21 usulan pembentukan provinsi baru antara lain usulan calon Provinsi Tapanulis, usulan calon Provinsi Bogor, usulan calon Provinsi Cirebon, usulan provinsi Madura, usulan calon Provisi Kalimantar Utara, usulan Provinsi Luwu, usulan calon Provinsi Buton, usulan calon Provinsi Papua Tengah dan usulan calon Provinsi Maluku Tenggara (Depdagri 2007). Data ini mengarahkan Ratnawi pada ‘kecurigaan’ bahwa pemekaran wilayah memang telah dijadikan ‘bisnis’ atau ‘industri yang menggiurkan elit-elit Pusat dan elit-elit lokal.

Maraknya pemekaran wilayah ini di satu pihak perlu disyukuri karena memberi tempat bagi aspirasi, keberagaman dan otonomi lokal, sesuatu yang diabaikan oleh Orde Baru. Namun di lain pihak, fenomena pemekaran wilayah secara besar-besaran tersebut sekaligus cukup mengkhawatirkan mengingat banyak proposal pemekaran yang diwarnai oleh self-interest dari elit-elit lokal pengusungnya-misalnya karena ingin menjabat di birokrasi lokal atau DPRD, ingin lepas dari himpitan ‘penindas’ kelompok etnis/agama lain, ingin membangun kembali sejarah dan kekuasaan aristokrasi lama yang pernah pudar di masa Orde Baru.

Pembajakan atau manipulasi pemekaran oleh elit-elit lokal (‘para penunggang gelap’) ini kemudian memunculkan banyak konflik dan masalah di tingkat lokal termasuk masalah yang muncul pasca pemekaran, baik di daerah pemekaran maupun di daerah induk. Di samping itu banyaknya pemekaran daerah juga dikhawatirkan dapat meningkatkan semangat etno-nasionalisme orang-orang daerah dan sebaliknya dapat mengurangi semangat kebersamaan sebagai bangsa Indonesia.

Mengingat proposal pemekaran daerah sebelum dinilai ‘lulus’ di tingkat Pusat telah dibaca, dikaji dan akhirnya di setujui oleh Pemerintah Pusat Presiden dan DPR, maka penanggung jawab pertama atas munculnya banyak permasalahan di daerah-daerah pemekaran adalah Pemerintah Pusat itu sendiri. Dalam hal ini Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tampaknya belum sepenuhnya dapat diminta ‘pertanggungjawabannya’ mengingat perannya yang kurang signifikan dalam pengambilan keputusan pemekaran akibat dari sangat kecilnya peran DPD yang diatur oleh UUD 1945 amandemen IV dan UU Susduk No. 22 Tahun 2003.

Hasil studi dari tim Bank Dunia menyimpulkan ada empat faktor utama pendorong pemekaran wilayah di masa reformasi yaitu: Pertama, motif untuk efektivitas administasi pemerintahan mengingat wilayah daerah yang begitu luas, penduduk yang menyebar, dan ketertinggalan pembangunan; Kedua, kecenderungan untuk homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban-ruraal, tingkat pendapatan); Ketiga, adanya kemanjaan fiskal yang dijamin oleh Undang-undang disediakannya dana alokasi umum, bagi hasil dari sumber daya alam dan disediakannya sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah; Keempat, motif pemburu rente (bureaucratic and political rent-seeking) para elit.

Disamping itu masih ada satu motif ‘tersembunyi’ dari pemekaran daerah, yang oleh Tri Ratnawi di sebut sebagai gerrymander, yaitu usaha pembelahan/pemekaran daerah untuk kepentingan parpol tertentu. Contohnya adalah kasus pemekaran Papua oleh pemerintahan Megawati (PDIP) dengan tujuan untuk memecahkan suara partai ‘lawan’ (hal.15). Buku ini selayaknya menjadi kajian segar dalam memperkaya khazanah wacana politik lokal di negara kita tercinta, Indonesia.

*) Tulisan ini dimuat di Kabar Indonesia, 1 April 2009

Komentar

Postingan Populer