Hans-Georg Gadamer dan Hermeneutik


Judul Buku : Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer
Penulis : Inyiak Ridwan Muzir
Penerbit : Ar-Ruzz Media Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2008
Tebal : 279 halaman

Sosok Hans-Georg Gadamer mulai dikenal luas ketika menerbitkan buku Truth and Method tahun 1960, sebuah proyek intelektual yang telah dirintisnya sejak awal tahun 50-an. Namanya kian menjulang ketika terjadi polemik hangat antara dia dengan Habermas dan kritikus-kritikus lain di paro kedua dekade 60-an. Ketika pensiun di tahun 1968, Gadamer sudah mendapat nama Internasional.

Truth and Method menjadi menarik, karena menganalisis seni dan estetika sebagai titik tolak bagi analisis tentang pemahaman secara umum. Dalam buku ini, Gadamer mempertanyakan kenapa wilayah seni dan estetika menjadi terpinggirkan dalam Geistenswissenschaften. Kalaupun ada disiplin ilmu yang membahasnya, itu hanya dengan menempatkan seni sebagai salah satu fenomena sosiologis dan antropologis. Untuk menyelesaikan persoalan ini, Truth and Method pertama-tama membahas klarifikasi diri metodologis dalam Geistenswissenschaften.

Gadamer menjelaskan permahaman diri Geistenswissenschaften dengan berpatokan pada pendapat Helmholtz yang membedakan ilmu alam dan ilmu sosial; yang pertama dicirikan oleh penerapan logika induktif yang akan menghasilkan hukum-hukum universal, sedangkan yang kedua memperoleh pengetahuan lewat kepekaan psikologis. Disini, Helmholtz mempersoalkan induksi artistik, perasaan instingtif, dan kepakaan artistik, yang kesemuanya tidak memiliki aturan dan hukum yang jelas, sebagaimana yang dipahami dalam ilmu-ilmu alam.

Dalam Truth and Method, persoalan ini kemudian tidak ditangani Gadamer dengan cara terjun ke perdebatan epistemologis tentang keunikan dan perbedaan metode Geistenswissenschaften dengan ilmu alam, sebab ini sudah dilakukan oleh pemikir-pemikir sebelumnya seperti Dilthey, Misch, Rothcher, dan Weber, serta apa yang mereka hasilkan tidak memuaskan menurut Gadamer (hal.104). Gadamer Justru melacak keunikan Geistenswissenschaften kedalam konsep-konsep yang tak akan bisa diutak-atik dengan metode.

Kehadiran buku ini “Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer”, yang di tulis Inyiak Ridwan Muzir, membicarakan refleksi kritis dalam hermeneutika folosofis yang dikemukakan oleh Gadamer tentang pemahaman dan interpretasi yang berlandaskan ontologi keterbatasan temporal Dasein, sebuah hermeneutika yang tidak mengobjektivasi pengalaman dan amat sadar dengan historikalitas pemahaman.

Secara garis besar masalah yang diangkat oleh Inyiak adalah; Pertama, pengertian konseptual filosofis hermeneutika filosofis yang dicetuskan Gadamer dalam Truth and Method; Kedua, pengertian hermeneutika filosofis itu akan digunakan untuk melihat Geistenswissenschaften. Disini terlihat bagaimana kekhasan pemikiran Gadamer jika dibandingkan dengan pemikir-pemikir lain, meski sama-sama mengusung hermeneutika sebagai tema besarnya; Ketiga, melihat relevansi hermeneutika filosofis itu bagi Geistenswissenschaften secara kontekstual.

Gadamer beranggapan bahwa di wilayah pengalaman tentang dunia, terdapat kebenaran-kebenaran yang tak tertanggulangi oleh metode-metode ilmiah ilmu pengetahuan modern. Disini, poin terpentingnya bukanlah tentang adanya kebenaran-kebenaran lain yang terdapat di luar jangkauan metode ilmiah, akan tetapi bahwa kebenaran-kebenaran yang diklaim berbagai ilmu itu luruh ke dalam keuniversalan “pengalaman hermeneutis”. Maka lahirlah tesis bahwa setiap pemahaman dan teori pemahaman tidak akan bisa mengantarkan manusia pada objek dalam dirinya sendiri, sebab hakikat pengalaman dan pemahaman adalah historis, dan oleh karena itu terbatas.

Tesis ini berimplikasi pada Geistenswissenschaften sebagai disiplin yang mengkaji makna-makna yang telah dihasilkan manusia lewat kebudayaan dalam rangka pembudidayaan dirinya. Makna yang terkandung dalam ekspresi-ekspresi kultural diwarisi melalui tradisi dan hadir ke masa sekarang sebagai sesuatu yang memajukan klaim kebenaran sendiri dan menuntut untuk diakui dan dipahami.

Proses tersebut memerlukan mediasi historis dan interpretatif yang mustahil berlangsung tanpa bahasa. Sejarah dan pemahaman menjadi ada karena bahasa ada, disinilah letak keuniversalan linguistikalitas pemahaman. Apa yang ingin dihindari hermeneutika filosofis adalah menangkar ekspresi ekspresi linguisits tersebut ke dalam kerangkeng metode demi memperoleh “apa yang sebenarnya”.

Jika filsafat hermeneutik diartikan sebagai kumpulan panduan tentang bagaimana memahami dan meinterpretasi, maka hermeneutik filosofis adalah pengujian teoritis atas syarat kemungkinan filsafat hermeneutis tersebut. Dari sini, bisa dilihat keradikalan hermeneutika filosofis, karena dia mempertanyakan setiap legitimasi pendekatan apa pun terhadap pemahaman dan interpretasi.

Setiap pendekatan bisa menunda atau menambahkan legitimasinya pada hipotesis, sementara filsafat tidak bisa begitu, kerena hakikat tugasnya adalah mempersoalkan legitimasi itu sendiri. Apa pun yang dilakukan di dalam filsafat, dan cara-cara melakukannya bergantung pada keabsahan dan legitimasi filosofisnya. Legitimasi kerja-kerja hermeneutis adalah tema-tema filosofis yang paling penting dalam hermeneutika filosofis.(hal.99)

Fenomena hermeneutis sama sekali bukan persoalan metode an sich, bukan pesoalan metode pemahaman yang tepat terhadap sebuah teks, dan bukan pula persoalan kebakuan pengetahuan yang bisa memenuhi kriteria kreteria ilmu pengetahuan modern.

Memahami tradisi bukan hanya urusan menanggapi teks, tapi menangkap ilham dan mengakui kebenaran. Persoalannya adalah ilham apa dan kebenaran yang seperti apa?. Pertanyaan ini tidak menjadi sederhana karena persoalan-persoalan mendasar inilah yang dielaborasi Gadamer dalam beberapa pembahasan Truth and Method, ketika Gadamer memfokuskan diri pada relasi kebenaran dalam Geistenswissenschaften dan bahasa.

Relasi tersebut pada akhirnya mengampungkan klaim universalitas hermeneutika filosofis, karena Gadamer melakukan “peralihan ontologis”. Peralihan ini adalah dari klarifikasi kehidupan historis dalam kepenuhan dan aktualitasnya; artinya, kehidupan historis sebagaimana adanya di lapangan sejarah menuju penyimpulan tentang hakikat kehidupan historis. Dari klarifikasi tersebut, ditemukan bahwa hakikatnya adalah linguistis.

*) Tulisan ini dimuat di Jurnalnet.com, 8 April 2008

Komentar

Postingan Populer